Ngidam Mahasiswa
Adalah tidak seperti biasanya pada kegiatan yang biasa itu. Malam itu Mbah
Kalim –orang yang disegani dan langganan memimpin kumpulan-- tidak lagi
memimpin kumpulan orang doa bersama yang rutin dilaksanakan setiap malam Sabtu
Pon dan Legi. Hal ini terjadi juga beberapa tahun, beberapa bulan, dan beberapa
minggu sebelumnya saat ada anak-anak muda datang dari unipersitas. Mbah Kalim
tampak canggung dan tampak tidak seperti biasanya ia memperlakukan anak muda
itu sebagaimana umumnya, ia menyerahkan tugas yang biasanya dibanggakan itu
dengan halus dan sedikit memaksa kepada
anak muda yang sedikit keriting dari unipersitas itu. Mbah Kalim yang biasa
Pe-De kini tidak lagi.
Dul lelaki kecil kurus kering tapi suka berpikir kritis itu
merasa kagum dan berpikir mengapa orang muda yang selisih umurnya kira-kira
tiga tahun setengah lebih sedikit di atas kakaknya --yang di Madrasah Aliyah--
itu diperlakukan seperti itu. Belum hilang pikirannya itu, pagi hari pukul
09.30 istiwak, peristiwa semalam terulang lagi, Pak Kamituo juga enggan
memimpin rapat dan mempersilahkan pada pemuda yang datang dari unipersitas
lagi. Pemuda-pemuda itu memang sangat akrab dengan masyarakat, ia sepertinya
serba bisa, dan giat bekerja.
Siang itu setelah jum’atan di Masjid AR-Ridlo, masjid kebanggaan kampung
Dul, ia mengajak pemuda unipersitas yang agak keriting ke rumahnya. Sambil
menikmati jenang sruntul buatan emaknya, pemuda unipersitas itu bercerita
tentang kehidupannya dan teman-temannya di unipersitas. Bagaimana ia aktif
melakukan kegiatan-kegiatan sosial, bagaimana ia rajin beraktivitas keagamaan,
dan bagaimana ia sering mengiingatkan pemerintah melalui diskusi dan
demontrasi, tanpa suruhan orang-orang tertentu atau mengharapkan sesuatu dan
sesuatu dari orang tertentu. Tak luput cerita pemuda dari unipersitas yang memperjuangkan Indonesia
mulai tahun 1908 dengan nama Budi Utomo, tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, dan
tahun setelahnya hingga 1945 dengan peristiwa Proklamasinya, 1965 dengan
Tritura, tahun 1971 dengan MALARInya, hingga tahun-tahun setelahnya dengan
reformasinya yang meruntuhkan orde baru yang berkuasa selama 35 tahun dan masih
banyak lagi kegiatan --yang ia sebut aksi atau demonstarsi—ia lakukan walau
berhadapan dengan siapapun, yang penting kebenaran dan kedailan tertegakkan.
Dul yang baru duduk di bangku SMP itu tak henti-hentinya berpikir. Akhirnya
Dul sangat berkeinginan untuk dapat masuk pada unipersitas. Orang-orang yang
ada di unipersitas itu ternyata dianggap serba bisa, bisa memimpin tahlil,
memimpin rapat, kerja bakti, atau mengkritik pak Lurah sampai pak Presiden.
Orang-orang kampung Dul menganggap pemuda unipersitas begitu baik.
Beberapa tahun kemudian, Dul atas sokongan sana-sini termasuk 28 ayam
bloroknya yang rajin bertelur dan setia ketika di SMU dulu turut terjual habis.
Dengan bekal niat sekaligus nekat, Dul masuk pada universitas. Dul
bangga, sekarang ia dapat mengucapkan universitas pakai “v” bukan unipersitas
lagi. Dul bangga dan dibanggakan sekaligus diharapkan orang-orang sekampung,
walaupun sebelumnya Kyainya berpesan. “Le, kuliah jangan dibuat
bangga-banggaan, yang rajin, kamu harus karep, mantep, lan madep.” Tambahan
modal tiga kata yang sangat berharga itu dipegang erat-erat layaknya lagu
“Balonku Ada Lima”.
Belum genap satu semester, rasa bangga dan kagum Dul terhadap pemuda dari
universitas yang ternyata disebut mahasiswa itu mulai bias, cemas,
bahkan timbul persepsi dan interpretasi –oh, ternyata Dul juga
ngomong seperti mahasiswa—yang macem-macem. Dul sudah mulai sering ikut teman-temannya jalan-jalan, nongkrong, dan merasa senang
karena jam kuliah yang sering kosong. Bukan pendengaran asing lagi bahkan
keniscayaan kalau mahasiswa itu suka ngomong dan menggunakan bahasa yang kemaruk
yang sangat sulit dipahami dan terkadang ia sendiri tidak mudeng bahkan berlainan makna dengan apa yang
dimaksudkan. Atau berlagak agak kodo kepada guru eh, dosennya.
Beberapa semester mampu diikuti Dul dengan kecengangan-kecengangan campur
kesenangan. Dul memang banyak tahu karena kebetulan ia macak aktif dalam
organisasi kampus mulai terendah yang biasa disebut init kegiatan Ha eM Je
hingga tertinggi yang disebut Be E eM walau lebih sering menjadi buruh daripada
yang lain. Ada teman-temannya yang masih kenceng melaksanakan nilai-nilai
sebelum kuliah, seperti sholat jamaah yang diiringi wiridan atau ngaji Yasin,
berpakaian sederhana dan pantas, atau berjilbab tetapi kurang populer bahkan
tak berterima pada banyak teman yang lain. Ketika asyik berdiskusi dengan
menggunakan bahasa-bahasa kemenyek bahasa bule londo, ada salah seorang usul sholat, tetapi banyak yang tercengang. Kata, ajakan itu
sudah dianggap asing dan rancu seraya berkomentar, “Ah, Tuhan kan tahu, kalau
kita sedang sibuk membahas masalah rakyat”. Organisasi kemahasiswaan sering
diperebutkan dipertentangkan dan dipertaruhkan dengan berbagai cara. Tak jarang
meraka melakukan aksi sebagaimana cerita yang terdengar tetapi dengan tujuan
agar kelihatan bagus, agar tampak hidup, atau karena menginginkan sesuatu untuk
kepentingan golongannya, bahkan karena ada yang menyetirnya tanpa disadarinya.
Ada juga teman perempuan Dul yang kencang sekali menyuarakan perlindungan,
penghormatan, dan pendampingan, terhadap kaumnya yang ternyata lebih senang dan
bangga memakai pakaian yang kekurangan kain atau pakaian yang kekecilan tapi
berharga melebihi SPP atau jatah bulanannya. Tak sedikit dijumpai temannya yang
tiba-tiba targetan kirimannya kepada orang tuanya lebih sering dan
melonjak hingga 300% --ikut-ikutan multikrisis Indonesia—gara-gara ingin
berpenampilan sama bahkan beda dengan
temannnya juga sibuk berkegiatan sekaligus mentraktir kenalan lawan jenisnya
melebihi agenda dan aggaran pribadinya, tak peduli entah darimana orang tua
mencarinya.
Masih terngiang di telinga Dul
percakapan yang prestisius pada sore hari bulan september itu.
Temannya Ponijon yang lebih senang di panggil “Jhon” itu dengan bangga
bercerita bahwa saat liburan semester lalu ia tak lagi mau membantu merumput ke
ladang dengan alasan mahasiswa, sibuk mengerjakan tugas. Tak kalah lantangnya,
Titin semester III yang nama aslinya Jumi’atin itu juga bercerita dengan bahasa
gaulnya bahwa ia menolak suruhan ibunya pergi ke warung untuk membeli bumbu
sambal dan mengantar sayuran ke pasar yang memang aktivitasnya ketika di SMU
dulu.
Oh, inikah mahasiswa sekarang? Mana mahasiswa yang pernah kudengar dari
pemuda unipersitas yang pintar tapi sederhana dulu itu? Kenapa ini terjadi?
Apakah karena mereka memang kendo, sok, atau senang show me¸
ataukah memang ada skrenario besar dari pihak ketiga melalui pembudayaan
amburadul lewat berbagai media namun tak disadri oleh mahasiswa akibat
keangkuhan atau memang kekendoannya itu, atau juga Inikah produk atau output pendidikan yang
ramai-ramai diperbincangkan oleh para pakar yang doyan sekolah di luar negeri
itu. Pendidikan telah lari dengan sendirinya. Pendidikan telah menjadi ilmu
yang tak henti-hentinya dipermasalahkan hingga lepas dari kemanusiannya
sendiri. Apa ini yang dikatakan Neneknya Paulo Fraire “Aku mengharapkan engkau
berpendidikan sehingga aku melarangmu masuk sekolah.” Mahasiswa… mahasiswa kok
mau-maunya, kok senangnya kamu begitu eh, dibegitukan!. Si Dul tiba-tiba
menjadi kritkus, pikirannya terus saja
nerocos menabrak sana-sini.
Ia semakin menjadi-jadi, tidak saja dalam hati, malah bersungut-sungut
ngomong sendiri. Kali ini ia mengomeli pendidikan nasional. Entah kenapa
tiba-tiba ia nerocos, dengan bahasanya Putu Wijaya.
“Selama ini pendidikan belum berhasail, jelasnya GAGAL. Upaya pendidikan memang banyak dibicarakan, dipuji,
dicoba, bahkan disakralkan. Pendidikan sudah diterima sebagi suatu yang luhur.
Dan karena itu tiap orang ikut mengarahkannya hingga pendidikan menjadi mega
bintang, superstar dalam mengisi kemerdekaan. Ia bahkan menjadi ilmu yang
lama-lama menjadi sendiri meninggalkan manusia yang harus dididiknya. Hingga
manusia sendiri jatuh bangun mengejarnya bahkan digilasnya. Pendidikan menjadi
sangat kejam, karean bukan saja menumbuhkan, tetapi juga mengubah manusia
menjadi alat atau sistem logika. Pendidikan telah mengisi kepala manusia dengan
berbagai kiat hingga menjadi hampir bukan manusia. Karena kata biadab, tak
beradab, nyaris ditimpakan kepada meraka yang tak mampu mencapai pencapaian
ilmu tersebut. Akhirnya terjadi main seruduk, cepat-cepat memujanya. Ilmu
menjadi berhala yang makin lama makin bertentangan dengan konsep moral dan
agama.
Pendidikan menjadi tidak bermoral. Manusia dihalau masuk
sekolah, kampus, kursus, penataran, seminar dan sebagainya, lalu dihajar
bagaikan budak-budak dan pekerja rodi untuk menegakka ilmu sebanyak-banyaknya
demi gengsi, prestise, atau pangkat. Setelah itu mereka dilepaskan dengan
jubah, toga, dan diplomat yang bagaikan mesin pembunuh seperti koboi yang
setengah teler dan setengah sinting menghajar dan mencabik-cabik
manusia-manusia lain.
Pendidikan memerlukan sebuah garansi. Agar manusia yang memasuki pendidikan
atau tepatnya pengajaran dijamin akan tetap utuh sebagai manusia. Bahkan
bertambah luhur setelah proses penabungan ilmu selesai. Pendidikan harus
berhenti menjadi pabrik binatang pintar. Pendidikan harus menjadi
peluhuran kemanusiaan dengan cara memberinya ilmu”.
Duk! Dul meringis karena kepalanya menabrak tembok di depanya. Dasar si
Dul benjol lu!.