Monday, November 5, 2018

Ngidam Mahasiswa

Adalah tidak seperti biasanya pada kegiatan yang biasa itu. Malam itu Mbah Kalim –orang yang disegani dan langganan memimpin kumpulan-- tidak lagi memimpin kumpulan orang doa bersama yang rutin dilaksanakan setiap malam Sabtu Pon dan Legi. Hal ini terjadi juga beberapa tahun, beberapa bulan, dan beberapa minggu sebelumnya saat ada anak-anak muda datang dari unipersitas. Mbah Kalim tampak canggung dan tampak tidak seperti biasanya ia memperlakukan anak muda itu sebagaimana umumnya, ia menyerahkan tugas yang biasanya dibanggakan itu dengan halus dan sedikit  memaksa kepada anak muda yang sedikit keriting dari unipersitas itu. Mbah Kalim yang biasa Pe-De kini tidak lagi.
Dul lelaki kecil kurus kering tapi suka berpikir kritis itu merasa kagum dan berpikir mengapa orang muda yang selisih umurnya kira-kira tiga tahun setengah lebih sedikit di atas kakaknya --yang di Madrasah Aliyah-- itu diperlakukan seperti itu. Belum hilang pikirannya itu, pagi hari pukul 09.30 istiwak, peristiwa semalam terulang lagi, Pak Kamituo juga enggan memimpin rapat dan mempersilahkan pada pemuda yang datang dari unipersitas lagi. Pemuda-pemuda itu memang sangat akrab dengan masyarakat, ia sepertinya serba bisa, dan giat bekerja.
Siang itu setelah jum’atan di Masjid AR-Ridlo, masjid kebanggaan kampung Dul, ia mengajak pemuda unipersitas yang agak keriting ke rumahnya. Sambil menikmati jenang sruntul buatan emaknya, pemuda unipersitas itu bercerita tentang kehidupannya dan teman-temannya di unipersitas. Bagaimana ia aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial, bagaimana ia rajin beraktivitas keagamaan, dan bagaimana ia sering mengiingatkan pemerintah melalui diskusi dan demontrasi, tanpa suruhan orang-orang tertentu atau mengharapkan sesuatu dan sesuatu dari orang tertentu. Tak luput cerita pemuda dari  unipersitas yang memperjuangkan Indonesia mulai tahun 1908 dengan nama Budi Utomo, tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, dan tahun setelahnya hingga 1945 dengan peristiwa Proklamasinya, 1965 dengan Tritura, tahun 1971 dengan MALARInya, hingga tahun-tahun setelahnya dengan reformasinya yang meruntuhkan orde baru yang berkuasa selama 35 tahun dan masih banyak lagi kegiatan --yang ia sebut aksi atau demonstarsi—ia lakukan walau berhadapan dengan siapapun, yang penting kebenaran dan kedailan tertegakkan.
Dul yang baru duduk di bangku SMP itu tak henti-hentinya berpikir. Akhirnya Dul sangat berkeinginan untuk dapat masuk pada unipersitas. Orang-orang yang ada di unipersitas itu ternyata dianggap serba bisa, bisa memimpin tahlil, memimpin rapat, kerja bakti, atau mengkritik pak Lurah sampai pak Presiden. Orang-orang kampung Dul menganggap pemuda unipersitas begitu baik.
Beberapa tahun kemudian, Dul atas sokongan sana-sini termasuk 28 ayam bloroknya yang rajin bertelur dan setia ketika di SMU dulu turut terjual habis. Dengan bekal niat sekaligus nekat, Dul masuk pada universitas. Dul bangga, sekarang ia dapat mengucapkan universitas pakai “v” bukan unipersitas lagi. Dul bangga dan dibanggakan sekaligus diharapkan orang-orang sekampung, walaupun sebelumnya Kyainya berpesan. “Le, kuliah jangan dibuat bangga-banggaan, yang rajin, kamu harus karep, mantep, lan madep.” Tambahan modal tiga kata yang sangat berharga itu dipegang erat-erat layaknya lagu “Balonku Ada Lima”.
Belum genap satu semester, rasa bangga dan kagum Dul terhadap pemuda dari universitas yang ternyata disebut mahasiswa itu mulai bias, cemas, bahkan timbul persepsi dan interpretasi –oh, ternyata Dul juga ngomong seperti mahasiswa—yang macem-macem. Dul sudah mulai sering ikut teman-temannya  jalan-jalan, nongkrong, dan merasa senang karena jam kuliah yang sering kosong. Bukan pendengaran asing lagi bahkan keniscayaan kalau mahasiswa itu suka ngomong dan menggunakan bahasa yang kemaruk yang sangat sulit dipahami dan terkadang ia sendiri tidak mudeng  bahkan berlainan makna dengan apa yang dimaksudkan. Atau berlagak agak kodo kepada guru eh, dosennya.
Beberapa semester mampu diikuti Dul dengan kecengangan-kecengangan campur kesenangan. Dul memang banyak tahu karena kebetulan ia macak aktif dalam organisasi kampus mulai terendah yang biasa disebut init kegiatan Ha eM Je hingga tertinggi yang disebut Be E eM walau lebih sering menjadi buruh daripada yang lain. Ada teman-temannya yang masih kenceng melaksanakan nilai-nilai sebelum kuliah, seperti sholat jamaah yang diiringi wiridan atau ngaji Yasin, berpakaian sederhana dan pantas, atau berjilbab tetapi kurang populer bahkan tak berterima pada banyak teman yang lain. Ketika asyik berdiskusi dengan menggunakan bahasa-bahasa kemenyek bahasa bule londo,  ada salah seorang usul sholat, tetapi  banyak yang tercengang. Kata, ajakan itu sudah dianggap asing dan rancu seraya berkomentar, “Ah, Tuhan kan tahu, kalau kita sedang sibuk membahas masalah rakyat”. Organisasi kemahasiswaan sering diperebutkan dipertentangkan dan dipertaruhkan dengan berbagai cara. Tak jarang meraka melakukan aksi sebagaimana cerita yang terdengar tetapi dengan tujuan agar kelihatan bagus, agar tampak hidup, atau karena menginginkan sesuatu untuk kepentingan golongannya, bahkan karena ada yang menyetirnya tanpa disadarinya.
Ada juga teman perempuan Dul yang kencang sekali menyuarakan perlindungan, penghormatan, dan pendampingan, terhadap kaumnya yang ternyata lebih senang dan bangga memakai pakaian yang kekurangan kain atau pakaian yang kekecilan tapi berharga melebihi SPP atau jatah bulanannya. Tak sedikit dijumpai temannya yang tiba-tiba targetan kirimannya kepada orang tuanya lebih sering dan melonjak hingga 300% --ikut-ikutan multikrisis Indonesia—gara-gara ingin berpenampilan sama  bahkan beda dengan temannnya juga sibuk berkegiatan sekaligus mentraktir kenalan lawan jenisnya melebihi agenda dan aggaran pribadinya, tak peduli entah darimana orang tua mencarinya.
Masih terngiang di telinga Dul  percakapan yang prestisius pada sore hari bulan september itu. Temannya Ponijon yang lebih senang di panggil “Jhon” itu dengan bangga bercerita bahwa saat liburan semester lalu ia tak lagi mau membantu merumput ke ladang dengan alasan mahasiswa, sibuk mengerjakan tugas. Tak kalah lantangnya, Titin semester III yang nama aslinya Jumi’atin itu juga bercerita dengan bahasa gaulnya bahwa ia menolak suruhan ibunya pergi ke warung untuk membeli bumbu sambal dan mengantar sayuran ke pasar yang memang aktivitasnya ketika di SMU dulu.
Oh, inikah mahasiswa sekarang? Mana mahasiswa yang pernah kudengar dari pemuda unipersitas yang pintar tapi sederhana dulu itu? Kenapa ini terjadi? Apakah karena mereka memang kendo, sok, atau senang show me¸ ataukah memang ada skrenario besar dari pihak ketiga melalui pembudayaan amburadul lewat berbagai media namun tak disadri oleh mahasiswa akibat keangkuhan atau memang kekendoannya itu, atau juga  Inikah produk atau output pendidikan yang ramai-ramai diperbincangkan oleh para pakar yang doyan sekolah di luar negeri itu. Pendidikan telah lari dengan sendirinya. Pendidikan telah menjadi ilmu yang tak henti-hentinya dipermasalahkan hingga lepas dari kemanusiannya sendiri. Apa ini yang dikatakan Neneknya Paulo Fraire “Aku mengharapkan engkau berpendidikan sehingga aku melarangmu masuk sekolah.” Mahasiswa… mahasiswa kok mau-maunya, kok senangnya kamu begitu eh, dibegitukan!. Si Dul tiba-tiba menjadi kritkus,  pikirannya terus saja nerocos menabrak sana-sini.
Ia semakin menjadi-jadi, tidak saja dalam hati, malah bersungut-sungut ngomong sendiri. Kali ini ia mengomeli pendidikan nasional. Entah kenapa tiba-tiba ia nerocos, dengan bahasanya Putu Wijaya.
“Selama ini pendidikan belum berhasail, jelasnya GAGAL. Upaya  pendidikan memang banyak dibicarakan, dipuji, dicoba, bahkan disakralkan. Pendidikan sudah diterima sebagi suatu yang luhur. Dan karena itu tiap orang ikut mengarahkannya hingga pendidikan menjadi mega bintang, superstar dalam mengisi kemerdekaan. Ia bahkan menjadi ilmu yang lama-lama menjadi sendiri meninggalkan manusia yang harus dididiknya. Hingga manusia sendiri jatuh bangun mengejarnya bahkan digilasnya. Pendidikan menjadi sangat kejam, karean bukan saja menumbuhkan, tetapi juga mengubah manusia menjadi alat atau sistem logika. Pendidikan telah mengisi kepala manusia dengan berbagai kiat hingga menjadi hampir bukan manusia. Karena kata biadab, tak beradab, nyaris ditimpakan kepada meraka yang tak mampu mencapai pencapaian ilmu tersebut. Akhirnya terjadi main seruduk, cepat-cepat memujanya. Ilmu menjadi berhala yang makin lama makin bertentangan dengan konsep moral dan agama.
Pendidikan menjadi tidak bermoral. Manusia dihalau masuk sekolah, kampus, kursus, penataran, seminar dan sebagainya, lalu dihajar bagaikan budak-budak dan pekerja rodi untuk menegakka ilmu sebanyak-banyaknya demi gengsi, prestise, atau pangkat. Setelah itu mereka dilepaskan dengan jubah, toga, dan diplomat yang bagaikan mesin pembunuh seperti koboi yang setengah teler dan setengah sinting menghajar dan mencabik-cabik manusia-manusia lain.
Pendidikan memerlukan sebuah garansi. Agar manusia yang memasuki pendidikan atau tepatnya pengajaran dijamin akan tetap utuh sebagai manusia. Bahkan bertambah luhur setelah proses penabungan ilmu selesai. Pendidikan harus berhenti menjadi pabrik binatang pintar. Pendidikan harus menjadi peluhuran kemanusiaan dengan cara memberinya ilmu”.
Duk! Dul meringis karena kepalanya menabrak tembok di depanya. Dasar si Dul benjol lu!.  

Sunday, November 4, 2018

CINTA

Manusia hidup papa
Ia tak berbekal apa-apa
Namun ia punya karsa, asa, dan CINTA
CINTA… lima huruf, lima abjad, lima aksara, lima…ah!
Pokoknya itu, ya CINTA yang membuat “dinamis”   
anak adam hawa
Ya, yang mampu mengaduk-aduk dunia…,
CINTA adalah embun
Embun yang begitu segar…, segar sekali
Namun ia bakal tak berarti, bahkan bisa menyakiti
Bila embun itu jatuh pada gurun gersang
Tak akan memberikan apa-apa
Mungkin hanya kaktus berduri yang malah melukai
Tetapi ia begitu berarti,
Tatkala ia jatuh pada bidang yang subur,
Penuh humus imani
Tumbuh bunga-bunga yang meyedapkan pandangan mata